Kang, saya baru saja ikut pelatihan PDC dan mau menerapkan permaculture tapi saya enggak kuat kalau mesti buang hajat di toilet kompos.
Mas, saya ngikutin PDC nih, terus buat seed ball, eh beberapa bulan setelahnya malahan bingung tanaman apa, kapan dan dimana, kok berantakan ya?
Saya enggaj kuat kalo harus bangun tempat tinggal dari bambu atau tanah liat.
Ini beberapa pertanyaan dan kegundahan peserta PDC yang akhirnya menimbulkan persepsi bahwa permaculture tidak dapat diterapkan di Indonesia. Saat kita berintegrasi ke dalam komunitas pertanian yang hidup dan bekerja, penting untuk diingat bahwa permacuture ini bukanlah ide baru. Permaculture Ini adalah kumpulan pengetahuan tradisional dan asli dari seluruh dunia yang dalam banyak kasus, telah dikemas ulang untuk generasi perkotaan yang telah terputus dari alam dan dari satu sama lain.
Di Indonesia sendiri, nenek moyang kita sudah menerapkan pola permaculture ini di kehidupan sehari-hari, namun dengan berubahnya pola konsumsi dan interaksi perlahan muncullah revolusi pertanian agriculture dengan pola monokultur dan monocropping. Di Jawa Barat sendiri dikenal dengan sebutan kebun talun, dan kemungkinan di daerah lain memiliki penyebutan yang berbeda.
Di dalam beberapa pelatihan PDC yang kemungkinan mentor-nya berasal dari eropa, mereka memiliki kebudayaan toilet kering yang akhirnya dapat dengan mudah menerapkan composting toilet, dimana dikebudayaan Indonesia dengan toilet basahnya kurang bisa menerima hal ini.
Begitupula permaculturist yang berasal dari dataran tinggi tentu saja tidak mudah mendapatkan tanah liat dibandingkan petani dataran rendah jadi memaksa menerapkan bangunan tanah liat tidak dapat diterima karena malah akan menambah jejak karbon dalam proses import bahan baku tersebut.
Kuncinya adalah, permaculture bukanlah kebiasaan atau budaya barat. Oleh sebab itu tidak bisa disama ratakan pengaplikasiannya didaerah yang memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang berbeda. Yang harus tetap teguh dipegang adalah ETIKA permaculture dan PRINSIP permaculture.